GM: Pengajaran Sastra Bukan Mengenalkan Pengarangnya
JAKARTA – Goenawan Mohammad menilai pengajaran sastra di sekolah ataupun perguruan tinggi hanya mengenalkan pengarangnya.
Demikian dikatakan sastrawan dan esais yang terkenal dengan Catatan Pinggir (Caping) di Tempo itu pada Sarasehan dalam Jaringan (Sadaring) yang diadakan Satupena, Minggu (22/8) pukul 10.00 sd 12.00.
Sadaring Persatuan Penulis Indonesia – Satupena ke 2 ini, dipandu Geger Riyanto dan Debra H. Yantim, serta dihadiri oleh 5 ketua presidium Satupena.
GM menilai, pengajaran sastra seharusnya bagaimana membahas bahasa dan tafsir terhadap karya sastra. Tetapi, kecenderungan yang ada ialah membahas pengarang (tokohnya).
“Misal ada seorang dosen yang membahas Rendra yang dikenal sebagai Burung Merak. Padahal, bahasa yang digunakan Rendra dalam karya-karyanya sangat bagus, kenapa tidak kebahasaan dalam karya sastra yang diajarkan,” kata GM tanpa menjelaskan ihwal dosen tersebut.
Cara pandang ini dinilai GM berlanjut pada pemberian penghargaan. Dia mencontohkan penghargaan Nobel yang dianggap sebagai prestasi, puncak dalam kesusastraan dunia.
“Tapi kelemahan dalam penjurian Nobel Sastra, juri yang dirahasiakan namanya, tidak banyak mengenal sastra dunia,” tukasnya.
Pada kesempatan itu, GM mengajak Satupena agar memerhatikan kesejahteraan penulis Indonesia.
Misalnya, kata dia lagi, bagaimana sebaiknya mengusahakan agar royalti dibayar dengan baik, bagaimana buku dibaca lebih banyak. Lalu perbaiki besar-besaran pendidikan sastra di sekolah (dan PT, red.) ketimbang fokus pada penghargaan.
GM juga membandingkan kesejahtraan bagi sastrawan Indonesia dengan di luar negeri.
“Kalau di Amerika, sastrawan yang bagus karyanya namun kurang dalam soal kehidupannya, akan diberi ruang misal sebagai pengampu di sekolah atau kampus,” ungkap Goenawan Mohammad.
Tentang ajang penghargaan juga dibahas Linda dan Dee Lestari.
Kedua pembicara ini juga sepakat bahwa tidak menapikan penghargaan namun bukan tujuan utama.
Dee Lestari mengibaratkan, dalam hidup ini yang kita butuhkan adalah makanan utama dan bukan makanan penutup.
“Makanan utama itu wajib bagi kita karena di sana akan menghilangkan lapar dan ada gizi. Tetapi, makanan penutup boleh ada boleh tidak. Jadi makanan utama adalah berkarya, sedangkan penghargaan saya ibaratkan makanan penutup,” ujar Dee.
Linda menyebut tak sedikit ajang pengahargaan tidak lepas dari politis dan ideologis. | red